Langsung ke konten utama

 

Perjalanan Lain

 

                Sejauh apapun kaki kita melangkah pergi, tetap saja yang paling dirindukan adalah pulang. Pulang

                Terakhir sekali, aku menyelesaikan perbincangan dengan Ibu namun meninggalkan salah paham yang mendalam. Kalimat terakhir ibu ingin aku celah, tapi aku cukup mampu mengelolah emosiku sehingga tidak ada bantahan meski kalimatnya tidak benar. Ibu bilang aku tidak taat, tidak pernah mendengar kata-katanya, jika saja aku mendengar kata-katanya tidak mungkin aku menjalani kehidupan sesulit ini.

                Padahal, bagiku, kehidupanku tidak sulit. Aku bertumbuh dengan baik, segala gesekan-gesekan yang terasa sulit aku telah menjalaninya, hanya aku yang memahami arti air mataku, dan sebisa mungkin aku membagi semua kebahagiaku dengan orang-orang. Namun menurut ibu pilihan hidup ku sulit. Ketika aku mempertanyakan apakah kelak aku akan menikah atau tidak? Itu seperti situasi tersulit dalam hidupku dalam bayangan ibu. Ibu salah paham pada kalimatku, mungkin karena beliau tidak mendengar intonasi tanda tanya yang sangat jelas kutekankan pada akhir kalimat. Ibu berpikir aku sudah memutuskan pada usiaku 25 tahun saat ini bahwa aku tidak akan menikah kelak. Padahal, saat itu, aku hanya bertanya karena aku bimbang dan berharap Ibu memberiku nasehat yang menyejukan hatiku. Tanpa pernah kubayangkan bahwa pembahasan itu membuat aku dan Ibu berjalan dalam salah paham yang berkepanjangan.

                “Bagaimana kabar Ibu?” Tanyaku, saat aku sedang menelfonnya. Kewajiban yang harus kulakukan setidaklan 1 minggu sekali. Dulu, aku dan ibu hanya beda pulau, namun saat ini aku dan Ibu sudah beda negara. Mengapa bisa sampai sejauh itu? Karena aku mengambil perjalanan lain dihidupku, perjalanan yang berbeda dari yang Ibu harapkan. Ibu membayangkan aku putri yang sangat dicintainya berakhir menjadi seorang istri yang dicintai suaminya, mengurus cucu-cucunya yang manis, dan bahagia sampai tua nanti.

                “Ibu baik.” Suara beliau tidak terdengar bersahabat. Aku memahaminya. Ibu tidak pernah setuju pada pilihanku untuk bekerja di Australia. Sebelum aku bisa berbicara seperti ini lagi dengan Ibu, sebatas panggilan melalui hp, Ibu pernah menolak panggilanku hampir satu tahun lamanya. Ibu bilang bahwa dia hanya akan mau bicara padaku, jika aku kembali ke Indonesia. Ketidaktaatanku membuat Ibu semakin yakin pada pandangannya, bahwa aku anak yang tidak pernah mendengar nasehatnya dan tidak pernah berusaha menyenangkan hatinya. Pandangannya berbanding terbalik saat aku masih dibangku sekolah, aku berhasil menyelesaikan studi sarjanaku, ketika aku tumbuh menjadi anak yang baik dan patuh, ibu suka sekali membanggakanku pada temannya-temannya. Semuanya berubaha karena pertanyaan sialan yang tidak pernah kubayangkan dampaknya akan sebesar ini.

                Apakah setiap wanita diwajibkan untuk menikah? Tanpa harus memahami wanita itu siap atau tidak, ingin atau tidak?  Aku menyadari pemikiran Ibu yang primitif, berulang kali aku menjelaskan pada Beliau bahwa aku bahagai dengan keadaan ku saat ini, namun selalu dibantah dengan pemikiran siapa yang akan merawatku pada masa tua kelak. Aku kemudian menjelaskan anak bukanlah invetasi untuk masa depan orang tua, beliau juga membantah bahwa kelak jika kita sudah tua  anaklah yang akan merawat kita.

                ***

                “Apa kau memang sudah tidak niat menikah lagi?”

                Aku tersenyum miris mendengar pertanyaan Ibu yang sudah kerap kali kudengar. Suaranya disana tidak terdengar putus asa, selalu menutut untuk aku menjawab sesuai kehedanknya. Haruskah aku menjelaskannya. Bukankah sudah terlambat untuk menjelaskan luka-luka ini? Bukankah aku sudah menyembuhkannya? Tidak perlu membahasnya lagikan? Jawab saja pertanyaan ibu, suatu saat nanti jika aku menemukan yang terbaik aku akan menikah. Selesai.

                “Apa kau mendengarku Dara?” Suara Ibu tidak semenyenangkan dulu. Aku merasa tertekan.

                “Aku akan menikah jika aku sudah menemukan yang terbaik untukku.”

                “Turunkan standart mu, dan tidak perlu memilih-memilih! Ingat umurmu, kita sudah melakukan negosiasi ini selama 5 tahun.”

                “Baik bu. Maaf aku harus melanjutkan pekerjaan ku, waktu istirahat ku sudah habis.” Aku trauma dengan kesalah pahaman yang begitu panjang antara aku dan ibu, dan kesalah pahaman itu karena pembahasan ini. Aku tidak ingin terjebak lagi, kemudian kelepasaan emosi, dan hubungan ku demngan ibu semakin rumit. Berbicara dang mengetahui kabarnya saja itu sudah cukup. Jadi  beralasan lebih baik dari pada berdebat.

                ***

                Apa aku pernah jatuh cinta? Jawabannya adalah tidak! Aku tidak pernah merasakan jatungku berdebar karena didekatin seorang cowok, aku tidak pernah salah tingkah ketika dipuji cantik, dan tidak tertarik dengan gombalan-gombalan buaya yang berserakan disekitar telingaku.

            Apa aku mati rasa? Jawabannya juga tidak. Jika ditanya dari lubuh hatiku, apakah aku butuh dicintai? Jawabannya sangat butuh! Aku ingin ada yang memelukku disaat aku lelah dengan semua pekerjaan dan kehidupan ku, aku ingin ada yang melihat air mataku dan mengerti artinya, aku juga ingin diperhatikan dari hal penting sampai hal yang tidak penting. Tapi keinginan itu dibayangi oleh ketakutan. Ketakutan yang nyata yang pernah ada didepan mataku. Bahwa ada kejadian-kejadian mengerikan seperti tontonan secara gamBlang terjadi persis dimataku, dan sangat disayangkan kejadian-kejadian itu mengikuti pertumbuhan hidupku. Awalnya hanya sebuah bayangan yang membekas, kemudian menjadi catatan luka, dan berubah menjadi ketakutan. Bagiku hubungan pernikahan itu menakutkan.

                ***

                “Kamu tau ucapan adalah doa!” Ibu menasehatiku, kali ini secara langsung. Aku duduk disebalahnya, disebuah taman kecil, di kota Melboune. “Jangan sering mengucapakn, aku tidak akan menikah, aapakah aku menikah atau tidak? Ucapan mu itu adalah doa mu!” Medengar ibu mengomel secara langsung, rasanya lebih baik dari pada mendengar suaranya yang dingin di telfon. Rasa khawatir dalam nasa suaranya masih terasa ada balutan kasih sayang dari raut wajahnya. Dia ternyata masih menyanngi ku. Sulit sekali menebak kasih sayang ibu dari selaur selama hampir 2 tahun tidak bertemu dengannya.

                “Ibu belum pernah mendengar alasan dibalik semua pilihan ku kan?”

                “Apapun itu Ibu tidak peduli.” Bantah Ibu cepat.

                “Bisa ibu mendengarkan terlebih dahulu?”

                “Apa lagi yang harus ibu dengarkan, Ibu tau kamu gila kerja, kamu sudah mandiri, merasa bisa melakukan semuanya sendiri. Kamu selalu bilang nyaman dengan dirimu sendiri, tapi siapa yang tau kelak perasaan mu Jika ibu sudah tidak ada? Hah!”

                “Aku trauma.”

                Ibu menatapku kaget, sebelum dia membantah aku akan meneruskan semua cerita ku

                “Semua yang Ibu sering dengar, itu hanya alasan umum, tapi bukan itu yang sebenarnya.”

                “Dara, trauma apanya yang kamu maksud? Kamu mau trauma tentang apa? Pacaran aja kmau gak pernah? Siapa yang buat kamu trauma?” Ibu masih menganggap alasan ku lelucon.

                “Ibu tidak lupakan, bahwa Ibu meminta bantuanku untuk membongkar perselingkuhan Papa. Aku yang melabrak perempuan itu bukan Ibu.”

                Untuk pertama kalinya, Ibu tidak mampu membantah ucapanku. Aku memberanikan diri menatap bola matanya, tidak peduli dia mampu menembus lukaku atau tikda, toh juga dia Ibu yang akan memelukku. Aku hanya perlu jujur dan menjelaskan betapa dalam luka ini.

                “Ibu, aku tidak menyalahkan siapapun disini. Baik Ayah, atau pun mereka. Tapi aku tidak menyangka bayangan itu mengikutiku sampai hari ini.”

                Aku melihat Ibu dengan susahnya menelah salivanya. Dia gugup, dan masih menatapku lekat-lekat.

                “Ibu, aku merekam semuanya dengan jelas, ketika Ibu membawaku menyelesaikan pertengkaran rumah tangga paman dan bibi, saat itu Paman mendorong Bibi ke dinding sampai Bibi tergeletak tak berdaya. Aku melhat ketika tante renata datang kerumah, dengan kening berdarah dan matanya memar, itu juga perbuatan Paman John yang menurutkan terlalu sadis. Satu hal lagi, aku tidak bisa lupa, aku yang membalut luka diperut Ibu ketika Ibu bertengkat\r dengan Ayah dan Ibu diseret Ayah sampai perut ibu berdarah. Itu sebagain besarnya, detailnya aku ingin melupakannya.”

                Biarlah, hanya ini kesempatanku bisa menjelaskan pada Ibu mengingat kita sudah jauh dan beda negara. Sebenarnya aku tidak ingin menghacurkan acara liburan ibu di Kota Melbounr ini, tapi aku ingin sekali sesroang bisa mendengarkan alasanku yang sesungguhnya. Dan orang itu adalah Ibu.

                Ibu terdiam, tertunduk, kemudian menatap ku lagi. Aku melihat air matanya sudah penuh diujung matanya, sebentar lagi akan jatuh, dan benar, pipi Ibu sudah basah. Tadinya aku berharap, air mataku yang dihapus, tapi aku tidak sanggup melihat Ibu menangisi kisah ku.

                “Aku hanya butuh waktu memahami semua ini, dan menyembuhkannya ibu.” Kataku menjelaskan. Ibu terlihat merasa sangat bersalah.

                “Kenapa tidak dari awal menceritakan semua ini pada Ibu.”

                “Karena aku pikir aku bisa mengatasinya sendiri.”

                “Lalu...”

                “Ternyata aku butuh menceritkannya kepada orang yang bisa kupercayai. Dan orang itu adalah Ibu.”

                “Harusnya sejak awal kamu bisa menceritakan semua ini pada Ibu, setidaknya Ibu bisa memahami dan mencoba memberiku pemahanan atas semua yang terlah kamu lihat.”

                Akupun menyesalinya. Tapi yang sudah terjadi biarlah menjadi pembelajaran. Aku harap keterbukaan in aka membuatku lebih baik, menceritakan luka ini ternyata semudah itu, hanay perlu mencari siapa yang dipercaya dan bercreitralah secara gamblang. Ibu memahami ku, sejak saat itu dia sangat berhasti-hati menceritakan pada aku arti dibalik kisah yang terjadi. Ibu bilang, bukan pernikahannya yang salah, tapi orang-orangnya. Jadi, aku tidak perlu takut, ibu bilang dia berharap besar aklu akan menikah, namun sebelum tyerjadi aku harus selesai dulu dengan lukaku.

               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Slice of Story

            Halaman Pertama "Dari DIRA" Aku jadi tau Bagaimana mengatur perasaan ku setelah bertemu dengan mu Belajar dari realita ternyata menyakitkan, tapi ujungnya baik J Aku telah sampai pada kata "memahami" Kemudian ikhlas, dan aku telah membaik :) Benar ternyata... Arti dari cerita akan tersampaikan jika kita tiba pada ending nya Dan arti dari hadir seseorang akan tersampaikan Setelah dia berakhir di hidup kita. Ada dengan akhir baik, dan ada juga dengan akhir tak sesuai harapan   Kamu... Seperti mata pelajaran yang membekas di hati ku Terpatri kuat pada isi kepala ku Aku kemudian menulis banyak arti dari "kita" Dan semua tertuang pada lembaran buku ini Jika kau membuka halaman pertama, kau bahagia Halaman Kedua, masih tentang bahagia Ketiga, masih kuceritakan aku bahagia. Ketika sampai pada halaman akhir, kusampaikan kata maaf Jika tissue mu habis karena terlalu sibuk menangisi kisah ku Semoga segera sembuh